,

Minggu, April 13, 2008

DALAM RANGKA MEWUJUDKAN ‘GOOD URBAN GOVERNANCE’[1

oleh

DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG

DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

Makalah ini berisikan uraian mengenai isu-isu pokok pengembangan kawasan perkotaan yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip good governance. Sebagai landasan pengembangan kawasan, pendekatan penataan ruang secara prinsip telah memiliki paradigma yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip good governance. Salah satu upaya yang ditempuh Ditjen Penataan Ruang – Depkimpraswil dalam mendukung pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan - sesuai dengan portfolionya - adalah dengan mengembangkan norma, dan standar serta instrumen pendukung yang memanfaatkan keunggulan sistem dan teknologi informasi. Melalui pengembangan sistem dan teknologi informasi tersebut proses pengambilan keputusan dalam penataan ruang dan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan diharapkan dapat berlangsung secara lebih efektif, efisien, transparan, akuntabel dan berkelanjutan..

I. Pengertian tentang Penataan Ruang, Pengelolaan Kawasan Perkotaan, dan Good Urban Governance

1. Berdasarkan UU No.24/1992, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci ; pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTR-nya. Selanjutnya, tata ruang sendiri merupakan wujud struktural pemanfaatan ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang.

2. Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

3. Didalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas 4 (empat) hal, yakni :

(a) kawasan perkotaan yang berstatus administratif kota

(b) kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten

(c) kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan

(d) kawasan perkotaan yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan

4. Pengelolaan kawasan perkotaan (urban management) adalah kegiatan yang mencakup perencanaan, pengaturan, pengorganisasian, pembangunan, pengoperasian, termasuk pemeliharaan, pengendalian dan pembinaan dalam upaya memaksimalkan efisiensi dan keterjangkauan pelayanan perkotaan bagi masyarakat.[2]

5. Didalam rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni (livable environment) dan berkelanjutan. Rencana tata ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan.

6. Good Urban Governance memiliki arti yang luas dan dinamis, sebagai fungsi dari tempat dan waktu yang berbeda. Namun demikian, secara umum good urban governance dapat diartikan sebagai upaya merespons berbagai permasalahan pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan efisien yang diselenggarakan oleh pemerintah yang akuntabel bersama-sama dengan unsur-unsur masyarakat.[3]

7. Selain pengertian diatas, UNDP mengidentifikasi adanya 2 (dua) aspek utama dari governance, yakni : (1) secara teknis merupakan suatu proses dan prosedur dalam memobilisasi sumber daya, formulasi rencana, aplikasi teknis dan alokasi sumber daya, serta (2) secara representatif merupakan proses pengambilan keputusan termasuk partisipasi, akuntabilitas, dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan Bank Dunia sendiri mengidentifikasi adanya 4 (empat) aspek utama dalam governance, yakni : (1) manajemen sektor publik, (2) akuntabilitas, (3) kerangka hukum dalam pembangunan, dan (4) informasi publik dan transparansi.

8. Dengan memperhatikan pengertian dan aspek utama diatas, maka prinsip-prinsip good urban governance meliputi : (1) keberlanjutan, (2) keberpihakkan, (3) keadilan, (4) efisiensi, (5) transparansi, (6) akuntabilitas, (7) pelibatan masyarakat dan (8) keamanan. Secara normatif, seluruh prinsip-prinsip ini saling terkait satu dengan lainnya sehingga dapat memberikan efek positif ataupun negatif bagi pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan.[4]

9. Pada hakekatnya, penyelenggaraan penataan ruang telah memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan, keadilan, efisiensi, transparansi, akuntabilitas dan pelibatan masyarakat yang merupakan sebagian dari prinsip-prinsip good urban governance. Oleh karenanya, penyelenggaraan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan seyogyanya senantiasa mengacu kepada rencana tata ruang agar tujuan yang diharapkan, yakni peningkatan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi.

II. Isu dan Tantangan dalam Penataan Ruang dikaitkan dengan Pengelolaan Pembangunan Kawasan Perkotaan.

10. Peningkatan jumlah penduduk kawasan perkotaan yang pesat dari waktu ke waktu akan menyebabkan pengelolaannya semakin berat.. Kebutuhan lahan untuk aktivitas perkotaan sebagai “engine of growth” pun akan meningkat drastis. Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), 74 juta atau 37% (1998) dan diperkirakan akan mencapai angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995).[5]

11. Sementara secara kualitatif juga ditunjukkan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan dalam kawasan perkotaan itu sendiri, seperti : peningkatan angka kemiskinan, degradasi kualitas lingkungan, degradasi pelayanan publik, peningkatan kerawanan sosial, dan konflik pemanfaatan ruang. Khususnya bagi kota-kota metropolitan di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Makassar, Yogyakarta, Denpasar, isu ini sangat strategis dimana faktor yang mempengaruhinya tidak hanya didominasi oleh faktor internal kota melainkan juga faktor eksternal atau interaksi antara kota-kota dalam kawasan metropolitan.

12. Dewasa ini, iklim kompetisi antar kota semakin tajam – bukan hanya terhadap kota-kota di dalam wilayah nasional sebagai konsekuensi dari otonomi daerah, namun lebih dari itu iklim kompetisi pun terjadi terhadap kota-kota internasional sebagai konsekuensi dari arus globalisasi. Untuk itu kemampuan untuk berkompetisi sekaligus kemampuan untuk mengembangkan model-model kolaborasi (kerjasama) dengan kota-kota lain (nasional maupun internasional) merupakan isu strategis.

13. Keterkaitan fungsional antara kawasan perkotaan dengan perdesaan (urban – rural linkages) belum memberikan dampak yang positif bagi keduanya, bahkan kawasan perdesaan cenderung ‘dirugikan’ dalam pola-pola keterkaitan yang terbentuk. Fenomena yang terjadi masih ditunjukkan oleh tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan, akibat minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, pemasaran hasil-hasil produksi, serta akses pada prasarana dan sarana (ekonomi maupun sosial).

14. Penurunan kualitas lingkungan menyebabkan kawasan perkotaan berada dalam kondisi yang mencemaskan sehingga mengancam keberlanjutan pembangunan kota-kota tersebut. Hal ini disebabkan oleh visi pembangunan kota yang tidak jelas dan cenderung untuk memenuhi tujuan berjangka pendek saja dan mengabaikan pencapaian tujuan jangka panjang (development sustainability). Kasus banjir pada sejumlah kota-kota penting di Indonesia pada awal tahun 2002 silam, yang kemudian diikuti dengan kelangkaan air bersih dan kekeringan saat ini merupakan hal yang menjadi ancaman serius bagi kawasan perkotaan pada masa mendatang.

15. Penyimpangan terhadap rencana tata ruang kawasan perkotaan yang telah mengakibatkan terjadinya kerusakan atau bencana lingkungan disebabkan adanya faktor-faktor yang pada dasarnya bertitiktolak dari lemahnya urban governance. Adapun faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

(a) lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penataan ruang,

(b) lemahnya kemampuan pengawasan dan pengendalian pembangunan, baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat,

(c) lemahnya penegakan hukum, serta

(d) belum terciptanya semangat dan mekanisme kerjasama lintas wilayah dalam pembangunan yang sinergis – Pada kasus banjir di Jabodetabek awal tahun 2002 misalnya, perubahan guna lahan yang masif pada daerah hulu – yang tidak sesuai dengan peruntukannya – mengakibatkan dampak yang serius pada daerah hilir.[6]

16. Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam penataan ruang dan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik pemanfaatan ruang yang sulit dicarikan solusinya, tingginya transaction cost, dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang.

III. Paradigma Baru dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan.

17. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang kawasan perkotaan merupakan suatu keharusan agar berbagai ide dan aspirasi orisinil stakeholders dapat terakomodasi secara adil dan seimbang, termasuk bagi kelompok-kelompok marginal perkotaan. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique) dan model kelembagaan setempat seperti misalnya melalui forum kota atau rembug masyarakat. Dalam konteks ini pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang telah diatur melalui PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peran Serta Masyarakat yang merupakan derivasi dari UU No.24/1992.

18. Penerapan prinsip-prinsip good urban governance secara luas dan konsisten dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Walaupun kampanye terhadap good governance di dunia telah dikembangkan sejak awal tahun 1990-an, namun bagi Indonesia, pengadopsian prinsip-prinsipnya belum mencapai taraf yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan momentum yang tepat bagi para pengelola kota dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk peningkatan kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.

19. Pemanfaatan dukungan teknologi informasi dalam proses pengambilan keputusan atau intervensi kebijakan penataan ruang telah menjadi kebutuhan yang nyata seiring dengan kompleksitas permasalahan kawasan perkotaan yang dihadapi serta tuntutan atas peningkatan pelayanan publik oleh masyarakat.

20. Pengembangan bentuk-bentuk kemitraan antar kota-kota otonom dalam kawasan perkotaan atau antar kawasan perkotaan atau antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan menjadi pilihan strategis pada era otonomi daerah. Pilihan ini didasarkan atas kebutuhan untuk mengelola ruang kawasan – termasuk didalamnya prasarana dan sarana – secara terpadu sehingga proses delivery nya menjadi lebih efektif dan efisien. Selain itu pengembangan model kemitraan diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang lintas wilayah, menghindari terjadinya pemanfaatan ruang yang tidak sinkron pada kawasan perbatasan (hulu – hilir), serta mengurangi inefisiensi dan biaya transaksi yang terlalu besar.

21. Pengembangan inisiatif, potensi, dan keunggulan lokal dalam perencanaan, pembangunan dan pengendalian pembangunan berbasis masyarakat (community base development). Peran pemerintah dalam hal ini lebih dititikberatkan pada upaya pemberdayaan (empowerment), penciptaan iklim yang kondusif (enabling environment) serta peran fasilitator pembangunan yang menjembatani berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat tersebut.

IV. Arah Kebijakan Nasional bidang Penataan Ruang dalam Pengelolaan Pembangunan Kawasan Perkotaan

22. Dalam upaya memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa mendatang, serta upaya untuk mewujudkan good urban governance, maka pada tingkat nasional ditempuh kebijakan pokok penataan ruang pada kawasan perkotaan melalui revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang yang ada.

23. Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah : (a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public campaign dan (d) penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.

24. Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan perkotaan secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah. Strategi pendayagunaan penataan ruang tersebut disusun dengan memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

a. Keterpaduan program yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan wilayah atau kawasan perkotaan

b. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan

c. Sinergi pembangunan dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal

d. Akomodatif terhadap berbagai masukan, kemitraan dengan seluruh stakeholders dan transparansi dalam pelaksanaan pembangunan.

e. Konsistensi pelaksanaan pembangunan sektoral terhadap rencana tata ruang kawasan perkotaan

f. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya pembagian peran yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.

g. Kerjasama antar wilayah (antar kota-kota dalam kawasan perkotaan, antar kawasan perkotaan, maupun antar kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan) dalam rangka menciptakan sinergi pembangunan.

25. Operasionalisasi kebijakan dan strategi penataan ruang tersebut perlu didukung dengan keberadaan instrumen yang memadai agar perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang di daerah dapat terselenggara secara efisien dan efektif. Pada tahap perencanaan, maka instrumen dimaksud diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap proses analisis permasalahan dan penyesuaian kebijakan pembangunan kota yang cepat, akurat, transparan dan akuntabel, yang kemudian diperkuat dengan instrumen hukum (misal PP, Keppres hingga Perda). Pada tahap pemanfaatan rencana tata ruang, instrumen yang diperlukan adalah insentif dan disinsentif, sementara pada tahap pengendalian pemanfaatan ruang maka instrumen yang dibutuhkan adalah perizinan (seperti izin prinsip, izin lokasi, IMB dan penegakan sanksi hukum atas bentuk-bentuk pelanggaran).

V. Pengembangan Instrumen Penataan Ruang dalam Rangka Perwujudan Good Urban Governance

26. Era otonomi daerah dan globalisasi akan menempatkan kota-kota dalam iklim kompetisi yang ketat. Eksistensi suatu kota dalam hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan para pengelola kota – khususnya para pengambil keputusan – dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya dengan optimal. Salah satu kunci sukses terletak pada kecepatan para pengelola kota dalam menangkap informasi, melakukan analisis dan penyesuaian kebijakan pembangunan kotanya.

27. Untuk itu, melalui Proyek Capacity Building in Urban Infrastructrue Management (CBUIM), sejak tahun 2000 Ditjen Penataan Ruang - Depkimpraswil telah mengembangkan 2 (dua) instrumen pendukung proses pengambilan keputusan (decision support system) dalam rangka pemantapan penyelenggaraan penataan ruang di daerah dan perwujudan good urban governance.

28. Instrumen pertama adalah “Simulasi Perkotaan” sebagai sebuah piranti lunak untuk membantu para pengambil keputusan di daerah dalam memahami struktur dari fenomena/permasalahan kota yang kompleks serta memprediksikan perkembangan kotanya pada masa yang akan datang sebagai dampak dari pilihan kebijakan yang diambil pada masa lalu atau masa kini. Dengan memanfaatkan piranti lunak ini maka dapat diamati pula berbagai perubahan yang akan terjadi pada suatu kota secara kuantitatif (besaran perubahan) maupun secara spasial (arah dan lokasi) sebagai suatu fungsi waktu.

29. Sebagai sebuah model yang terbuka, akomodatif dan transparan, maka didalam proses pengembangan piranti lunak “Simulasi Perkotaan” dilakukan dengan melibatkan para stakeholders kota (perguruan tinggi, LSM, praktisi, pemerintah, dan konsultan perencana) sehingga segenap keputusan yang diambil pun dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Ujicoba terhadap pirnti lunak ini telah dilakukan di Kota Semarang dan pada tahap selanjutnya perlu dilakukan diseminasi ke kota-kota lain di Indonesia sehingga dapat berlangsung proses replikasi.

30. Instrumen kedua adalah Urban Development Management Information System (UDMIS) atau sistem informasi pembangunan perkotaan merupakan suatu “decision support system” yang berfungsi - sama halnya dengan sistem informasi lainnya - yakni sebagai alat bantu dalam hal pengambilan keputusan khususnya dalam hal pembangunan prasarana dan sarana kota.

31. Secara konseptual UDMIS diharapkan dapat bermanfaat secara luas, tidak hanya dalam konteks pembangunan satu sektor prasarana saja, namun lebih jauh dalam perspektif kawasan perkotaan. Walaupun begitu, UDMIS tidak dimaksudkan sebagai pengganti sistem informasi sektoral yang telah dikembangkan pada suatu kota.

32. Dengan konsep integrasi yang diterapkan, pengembangan UDMIS ini, diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat dan nilai tambah dari sistem yang ada, tanpa mengganggu mekanisme dan kemandirian sistem-sistem tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan antar instansi terkait, terutama dalam hal penyeragaman peta dasar, penyesuaian aitribut data, penetapan mekanisme “data sharing” serta proses pelembagaan lainnya menjadi isu yang sangat strategis bagi keberlanjutan (sustainability) sistem ini.

33. Melalui pendekatan integrasi terhadap berbagai sistem informasi lainnya, UDMIS diharapkan dapat memberikan landasan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan tentang pembangunan dan pengelolaan kota. Upaya ini diwujudkan melalui pengembangan sistem informasi yang berbasiskan data spasial, melalui peta dasar yang telah disepakati. Dalam konteks ini sesuai dengan portfolio yang dimiliki, Depkimpraswil bertanggung jawab dalam merintis pengembangan sistem tersebut sekaligus mendorong terwujudnya transparansi dan koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah yang lebih baik, serta sekaligus mendesiminasikan ke kota-kota lainnya.

34. Selanjutnya agar dapat memberikan manfaat yang lebih luas kepada stakeholders kawasan perkotaan (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha), maka dikembangkan situs UDMIS di internet. Bagi pemerintah, situs ini dapat digunakan sebagai media transfer, memonitor akurasi dan updating data, disamping dalam rangka antisipasi kebutuhan praktis seperti mengakses, mengelola dan memanfaatkan informasi tentang pembangunan kota secara cepat, efisien dan akurat. Sementara bagi pihak lainnya, situs ini dapat dimanfaatkan sebagai media untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan kota, disamping manfaat praktis lainnya. Apabila sudah tersosialisasi dengan baik, situs ini diharapkan dapat menjadi salah satu wahana bagi perwujudan good governance di kota-kota atau kawasan perkotaan di Indonesia.

VI. Penutup

35. Penataan ruang memainkan peranan yang penting dalam upaya mewujudkan tujuan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan, yakni peningkatan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat, mengingat didalam penyelenggaraannya telah terkandung prinsip-prinsip good governance. Oleh karenanya, rencana tata ruang sebagai bagian integral dari penyelenggaraan penataan ruang seyogyanya dapat menjadi landasan dalam pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan.

36. Penyelenggaraan penataan ruang harus didukung oleh pranata hukum (peraturan), pranata kelembagaan serta kualitas sumber daya manusia yang memadai, agar senantiasa mampu memberikan jaminan atas terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat tanpa harus mengganggu kepentingan publik secara luas. Disamping itu dukungan teknologi sebagai instrumen dalam penataan ruang sangat relevan karena merupakan suatu kebutuhan yang mutlak pada masa kini dan mendatang agar proses pengambilan keputusan dapat terselenggara secara cepat, akurat, transparan, efisien dan akuntabel sesuai dengan prinsip-prinsip utama good governance.

37. Penyiapan piranti lunak “Simulasi Perkotaan” dan UDMIS merupakan tanggungjawab dan fasilitasi yang dilakukan oleh Depkimpraswil dalam memantapkan penataan ruang di daerah, khususnya bagi pengelolaan kawasan perkotaan. Upaya ini perlu terus dikembangkan, disempurnakan, dan disebarluaskan agar menjadi ‘best practices’ dalam penataan ruang kawasan perkotaan yang manfaatnya bagi perwujudan good urban governance dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat.

Lampiran

Gambar 1

Gambar 2

GAMBAR 2

KARAKTERISTIK TUGAS DAN FUNGSI MANAJEMEN PERKOTAAN


[1] Makalah ini disajikan dalam Seminar tentang Kebijakan Pengelolaan Pembangunan Perkotaan dalam rangka Perwujudan ‘Good Urban Governance’ yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pembangunan Wilayah BPPT di Jakarta, 16 Oktober 2002

[2] Draft RPP tentang Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Edisi 8 Agustus 2002, yang pada saat ini statusnya tengah dalam pengajuan ke Setkab-RI

[4] ibid

[6] Berdasarkan pengolahan data citra satelit LAPAN maka telah terjadi peningkatan penggunaan lahan di Jabodetabek sebesar 10% untuk permukiman antara 1992 - 2001. Pada kurun waktu yang sama, juga terjadi pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16%. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20% terhadap arahan penggunaan lahan pada Rakeppres RTRW Jabotabek.

0 komentar:

Pilih Bahasa

SELAMAT BERGABUNG


pengen dapet duit 10.000 sampai 100.000/ hari?100% gratis !!! klik di sini untuk bergabung !!! MUH.SUPRIYADIE





Image Hosted by ImageShack.us

KATA MUTIARA

KLIK AJA

TINGGALKAN JEJAK MOE

mau dapat barang elektronik gratis 100 % tanpa bayar sepeserpun...???Klik disini