,

Kamis, Maret 27, 2008

Ayat-Ayat Cinta atau Ayat-Ayat Poligami?

Film AAC memang fenomenal dalam menyedot atensi dan minat orang untuk menontonnya. Bahkan para petinggi negeri ini ikut latah meramaikan bioskop untuk menonton film “ayat – ayat cinta”, sebuah film layar lebar bernapas Islami yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy, dan disutradari oleh seorang muda bernama Hanung Bramantyo, akhirnya aku sempati menonton film ini.

Ceritanya tentang seorang mahasiswa indonesia bernama Fahri, anak seorang pedagang tape yang kuliah di Kairo, Mesir. Fahri digambarkan sebagai seorang pemuda muslim yang ideal, sehingga menjadi dambaan beberapa perempuan (Maria yang katolik koptik, Nurul, Noura dan Aisyah).

Bukan hanya Fahri saja yang digambarkan ideal, situasi di kairo juga digambarkan sangat ideal/formal bahkan cendrung seperti dongeng. Misalkan situasi ketika Fahri harus berurusan dengan penjara dan pengadilan. Proses pengadilannya digambarkan ‘sangat demokratis’ meski kasusnya adalah tuduhan pemerkosaan. Entah apakah Mesir yang berazaskan hukum islam itu memang begitu model pengadilannya, mirip pengadilan barat. Hal lain yang janggal adalah ketika di dalam penjara, salah satu tahanan yang semula garang, entah dihukum karena kasus maling atau yang lain, ternyata mendadak bisa berperan menjadi ustadz yang memberikan nasehat-nasehat soal Tuhan dan agama islam kepada Fahri.

Hal2 yang menarik dari film ini:

1. Namanya film bernafaskan islam, jelas penulisnya berusaha melakukan propaganda tentang wajah islam yang baik dan ramah, meskipun digambarkan juga sisi negatif, seperti soal posisi perempuan yang inferior. Ada perempuan yang dipukuli di depan umum oleh ayahnya. Ada juga fundamentalis yang garang melihat si kafir Ameriki di kereta [kayaknya syutingnya diambil didalam kereta AC Ekonomi jurusan Kota – Depok], namun dicegah oleh muslim baik lainnya, termasuk si Fahri. Bahkan si perempuan Ameriki yang sedang studi tentang islam akhirnya belajar/diskusi dengan Fahri soal islam. Salah satu diskusi soal kedudukan perempuan dan kodrat. Dengan lugas, Fahri menjawab menurut surat Annisa bahwa ada beberapa syarat sebelum dilakukan pemukulan, dan jika dipukulpun ada bagian-bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh dipukul. Intinya, suami diijinkan memukul dengan syarat-syarata tertentu.

2. Kedudukan perempuan juga lemah dalam hal perjodohan. Tidak ada istilah pacaran. Ada istilah Taaruf. Fahri sang tokoh utama, akhirnya mendapatkan pasangan melalui proses ini. Dua calon pasangan ketemu ditemani keluarga. Pada proses ini, perempuan yang memakai cadar [baca : Aisha], boleh membuka cadarnya dan memperlihatkan wajahnya kepada lelaki calon pasangannya. Kalu gak jadi, ga apa-apa. Proses seperti ini sering ditemui di pasar, ketika pembeli bertemu si penjual.

3. Ini soal inti ceritanya, sekitar cinta. Karena situasi dan kondisi, akhirnya Fahri dihadapkan pada pilihan poligami. Meskipun berpoligami, Hanung berusaha menggambarkan situasi-situasi yang sulit dari kehidupan poligami. Soal keadilan, dll. Yang menurutku agak janggal adalah perkawinan kedua dilakukan ketika yang perempuan sedang koma/kritis di RS, meskipun diketahui sang perempuan sangat mencintai tokoh utama cerita ini, praktis perkawinan dilangsungkan tanpa sepengetahuan perempuan. Mungkin penulis cerita berusaha mempertahankan asas islam sedemikian ketat, Fahri diperlukan untuk menyadarkan perempuan yang sedang koma/kritis melalui sentuhan dan suara. Fahri digambarkan seorang muslim yang bukan saja baik tetapi juga sangat taat asas, yang tidak akan menyentuh kulit perempuan yang bukan muhrimnya.

Kesimpulannya, satu film yang layak ditonton oleh umat islam, apalagi buat yang arab sentris, wajib untuk menontonnya, karena banyak dialog dilakukan dalam bahasa arab juga. Bisa dipastikan haus dahaga terhadap suasana arab bakal terpuaskan, karena ceritanya terjadi di Kairo, meskipun shootingnya sebagian besar tidak dilakukan di sana. Walaupun dengan cerdas, Hanung, dengan agak sedikit rasis [disengaja atau tidak disengaja] menampilkan peran protagonis yang dengan mudah dapat diidentifikasi bukan ras arab.

Soal poligami, penulis keliatannya berusaha netral. Poligami digambarkan terjadi karena keadaan dan hukum islam memungkinkan. Meskipun digambarkan juga situasi-situasi sulit/kikuk buat sang suami ketika berhadapan dengan istri-istrinya. Namun kalau melihat aktris-aktris yang berperan cantik semua [Rianti Cartwright sebagai Aisyah, Carissa Putri sebagai Maria, Zaskia Adya Mecca sebagai Noura, dan Melanie Putria sebagai Nurul], aku kira sulit bagi seorang Fahri (Fedi Nuril) untuk menolak poligami. Mungkin film ini cocok juga kalau judulnya diganti menjadi “Ayat-ayat Poligami”

0 komentar:

Pilih Bahasa

SELAMAT BERGABUNG


pengen dapet duit 10.000 sampai 100.000/ hari?100% gratis !!! klik di sini untuk bergabung !!! MUH.SUPRIYADIE





Image Hosted by ImageShack.us

KATA MUTIARA

KLIK AJA

TINGGALKAN JEJAK MOE

mau dapat barang elektronik gratis 100 % tanpa bayar sepeserpun...???Klik disini