,

Jumat, Juli 04, 2008

Ideologi dalam Penerjemahan

Ideologi dalam Penerjemahan Oleh. Prof. Dr. Benny H. Hoed, M.A. (Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia Pendahuluan Judul paparan saya ini memang provokatif: “Ideologi dalam Penerjemahan”. Namun, saya anggap penting untuk memberikan pandangan yang bersifat makro dalam membahas penerjemahan sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya dan karya terjemahan sebagai bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Pembahasan saya difokuskan pada penerjemahan teks yang bermuatan budaya, termasuk karya sastra, berita surat kabar, film, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1] Oleh karena itu, saya ingin memperlihatkan bahwa dalam kegiatan penerjemahan penerjemah – secara sadar atau tidak – dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya oleh sebuah komunitas dalam suatu masyarakat. Meminjam konsep Barthes (1957), kita dapat mengatakan bahwa ideologi adalah mitos yang sudah mantap dalam suatu komunitas. Mitos, menurut Barthes, adalah pemaknaan atas suatu gejala budaya yang sudah mantap. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang “benar-salah” dalam penerjemahan. Para peneliti dan praktisi penerjemahan sepakat bahwa secara umum penerjemahan adalah upaya untuk mengalihkan pesan yang terkandung dalam sebuah teks dalam suatu bahasa (disebut bahasa sumber) ke dalam teks dalam bahasa lain (disebut bahasa sasaran). Jadi, penerjemahan yang “benar” adalah yang berhasil mengalihkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber ke dalam teks terjemahan. Namun, apa yang dimaksud dengan “berhasil”? Ditinjau dari segi siapa? Pembaca? Pembaca yang mana? Di sini kita punya masalah sehingga pertanyaan berikut masih perlu dicari jawabannya. Apakah yang dimaksud dengan terjemahan yang “benar”? Apa makna “benar” itu bila kita berbicara tentang terjemahan? Dari contoh-contoh yang akan saya berikan nanti, ternyata makna “benar-salah” sifatnya serba relatif. Jadi, pada dasarnya pemaknaan tentang “benar-salah” dalam penerjemahan berkaitan dengan faktor-faktor di luar penerjemahan itu sendiri. Keberhasilan mengalihkan pesan, dengan demikian, menjadi relatif pula. Apakah faktor-faktor yang akan menentukan “benar-salah”-nya suatu terjemahan? Dari literatur tentang penerjemahan yang dapat kita baca sejauh ini, “benar-salah” ditentukan oleh faktor “untuk siapa” dan “untuk tujuannya” suatu terjemahan dilakukan. Dalam kepustakaan klasik seperti karya Nida dan Taber (1969), kita dapat membaca konsep “benar-salah” ditentukan oleh “siapa calon pembacanya”. Dalam kepustakaan yang lebih baru, seperti, karya Hatim dan Mason (1997), kita menemukan konsep “audience design” sebagai salah satu prosedur untuk memulai suatu proses penerjemahan. “Audience design” adalah suatu tindakan memperkirakan siapa calon pembaca terjemahan kita. Berbeda calon sidang pembaca kita, berbeda pula cara kita menerjemahkan. Bahkan, bila kita membaca Newmark (1988), akan kita lihat bahwa ia mengemukakan delapan “metode” penerjemahan yang didasari oleh “tujuan” di samping “untuk siapa” penerjemahan dilakukan. Empat dari kedelapan metode itu berorientasi pada bahasa sumber dan empat lainnya berorientasi pada bahasa sasaran. Newmark menggambarkan kedelapan metode penerjemahan itu dalam suatu diagram yang disebutnya V-diagram. Seringkali kita mengira bahwa hanya ada satu jenis terjemahan. Namun, kalau kita tinjau lebih jauh, sebenarnya kita dapat membedakan delapan jenis terjemahan atau metode penerjemahan. Jenis-kenis atau metode penerjemahan adalah sebagai berikut (1) penerjemahan kata demi kata, (2) penerjemahan harfiah, (3) terjemahan setia, (4) terjemahan semantis, (5) saduran [adaptasi], (6) terjemahan bebas, (7) penerjemahan idiomatis, dan (8) penerjemahan komunikatif. Pembedaan metode penerjemahan dan jenis-jenis terjemahan ini berguna bagi kita yang terlibat dalam pekerjaan “pengalihbahasaan”. Dari kedelapan jenis ini, hanya (4), (7), dan (8) yang biasa kita sebut terjemahan.[2] Yang lainnya seringkali tidak dianggap terjemahan (cf. Newmark 1988: 45-47). Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemilihan salah satu dari kedelapan metode itu didasari oleh “tujuan” penerjemahan di samping oleh “untuk siapa” penerjemahan itu dilakukan.[3] Apa yang menarik dalam uraian di atas adalah bahwa ternyata penerjemahan dapat dilakukan dengan berorientasi pada bahasa sumber atau bahasa sasaran. Namun, apa yang diuraikan di atas masih bersifat mikro. Artinya, masih tentang metode atau cara penerjemahan yang dipilih. Dua Kutub Ideologi Venuti (1995) dalam bukunya berbicara tentang hal yang bersifat lebih makro. Ia berbicara mengenai kecenderungan yang dominan dalam suatu masyarakat dalam hal menilai “benar” atau “salah”-nya suatu terjemahan. Karena kecenderungan itu dominan, yakni menguasai sebagian besar warga masyarakat, dapatlah kita sebut sebagai “ideologi”. Pengertian “ideologi” ini baik menurut pengertian umum (hal yang dipercayai kebenarannya oleh sekelompok masyarakat) maupun menurut konsep Barthes (1964) (mitos yang sudah menjadi mantap dalam masyarakat yang bersangkutan). Ideologi bahwa penerjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” untuk masyarakat pembaca adalah yang memenuhi persyaratan tertentu. Dalam kaitan ini, Venuti (1995) mengamati adanya dua ideologi yang mengarah ke dua kutub yang berlawanan. Yang pertama berorientasi pada bahasa sasaran, yakni bahwa terjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat bahasa sasaran. Intinya, suatu terjemahan harus tidak dirasakan seperti terjemahan dan sejauh mungkin harus menjadi bagian dari tradisi tulisan dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, bila kita kaitkan dengan Diagram-V dari Newmark (lihat Gambar 1), metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada bahasa sasaran; dimulai dari adaptasi (yang paling jauh dari bahasa sumber), kemudian makin mendekati bahasa sumber dengan penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan yang paling jauh dari bahasa sasaran adalah penerjemahan komunikatif. Kecenderungan seperti ini sudah dikemukakan oleh para pakar teori penerjemahan. Nida dan Taber (1974) secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan dalam bahasa pembacanya. Dalam kaitan ini, kedua pakar itu dipandang sebagai pendukung penerjemahan yang berorientasi pada kebudayaan bahasa sasaran. Menurut penilaian Venuti (1995: 21) Nida dan Taber menganut “ideologi” yang disebutnya “transparansi” dan “domestication”. Jadi, yang dimaksud dengan memenuhi keinginan pembaca adalah keinginan untuk membaca suatu terjemahan tanpa terasa bahwa yang dibaca itu sebenarnya terjemahan. Dalam tradisi Anglo-Amerika, ideologi semacam itu sangat dominan (ibid.: 21). Ada tiga istilah kunci yang dikemukakan oleh para penganut ideologi ini, yaitu “fluency” (kelancaran), “transparency” (transparansi), dan “domestication” (domestikasi). Intinya adalah terjemahan harus tidak terasa sebagai terjemahan dan enak (baca: lancar) dibaca sesuai dengan tuntutan tradisi tulisan dalam bahasa Inggris di Amerika. Menurut Venuti (ibid. 17) apa yang dimaksud dengan transparansi adalah “rewriting them[4] in the transparent discourse that prevails in English and that selects precisely those foreign texts amenable to fluent translation”. Menurut Venuti “ideologi” tansparansi ini bukan sekadar masalah selera masyarakat atau pandangan tentang pemahaman Kitab Injil [seperti dalam hal Nida dan Taber (1974)], tetapi juga terkait dengan soal ekonomi yang didukung oleh politik pembentukan selera. Transparansi membuat sebagian besar karya dalam bahasa non-Inggris diterjemahkan menjadi bagian dari kebudayaan Anglo-Amerika. Dengan politik transparansi [melalui kekuasaan para penerbit besar] karya-karya asing itu terdomestikasi dan terasimilasi sehingga nilai-nilai kultural yang tersimpan dalam karya bahasa sumber menjadi “pudar”. Ini merupakan upaya asimilasi kebudayaan luar yang masuk melalui terjemahan “agar tidak menyaingi karya-karya asli” dalam bahasa Inggris yang sangat laku di pasar internasional dan dalam negeri. Politik (baca: ideologi) semacam ini oleh Venuti digambarkan sebagai “imperialistic abroad and xenophobic at home”. Analisis makro seperti ini sangat menarik karena ini mengubah citra kita tentang negara seperti Amerika Serikat. Kita memperoleh citra dari negara seperti Amerika Serikat – dan juga negara seperti Inggris, Australia, dan negara-negara Barat yang lain – bahwa globalisasi tidak dapat dihindari dan kita semua akan menjadi suatu masyarakat dunia dengan kebudayaan dunia. Ternyata – jika kita bicara khusus mengenai Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Venuti – ideologi globalisasi tidak berlaku di negeri itu, paling tidak dalam hal politik [ekonomi] penerjemahan dan penerbitannya. Menurut data yang dikutip Venuti pada tahun 1990 saja telah mengekspor sebanyak hampir satu setengah juta buku ke berbagai negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Afrika. Buku-buku itu mencakupi berbagai bidang ilmu pengetahuan, kamus, agama, sastra dan buku anak. Kita dapat membayangkan bahwa impor buku ke Amerika Serikat jauh lebih rendah daripada ekspornya. Situasi surplus seperti ini tentunya ingin dipertahankan oleh para penerbit Amerika. Politik ekonomi perbukuan ternyata berkaitan dengan pembentukan ideologi penerjemahan transparansi dan domestikasi di Amerika Serikat. Yang menarik adalah keadaannya di negara-negara “sasaran” ekspor buku berbahasa Inggris, khususnya dari Amerika Serikat. Sebagian besar buku impor yang dijual di pasar Indonesia adalah dalam bahasa Inggris. Yang terbanyak datang dari penerbit Amerika, meskipun kita juga menemukan buku-buku yang diimpor dari Inggris atau negara berbahasa Inggris lainnya, seperti Australia, Selandia Baru, Singapura, Hong Kong, dan India. Kita masih bisa memperdebatkan analisis Venuti tentang ideologi penerjemahan di Amerika Serikat. Namun, bauklah kita tinggalkan analisis Venuti untuk mengamati keadaan di negeri kita sendiri.Dewasa ini di Indonesia makin banyak buku asing, terutama sekali yang berbahasa Inggris, dan berasal dari penerbit Amerika. Di samping itu, saya juga mulai melihat bertambahnya terjemahan dari bahasa Arab. Ideologi apa yang dianut oleh para penerbit kita? Apakah juga transparasi dan domestikasi? Ini akan kita bicarakan kemudian. Akan tetapi, marilah kita lihat dulu ideologi lainnya yang diamati oleh Venuti dan dikemukakan dalam bukunya (ibid.) Ideologi yang lainnya adalah yang berorientasi pada bahasa sumber, yakni bahwa penerjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber. Penerjemahan yang didasari oleh ideologi seperti ini dikenal dengan nama “transferensi”[5] dan “decenterring”, sedangkan ideologinya oleh Venuti disebut “foreignization”. Ideologi “foreignizing” oleh Venuti (1995: 20) digambarkan sebagai “an ethnodeviant pressure on those values to register the linguistic and cultural difference of the foreign text, sending reader abroad”. Ini berarti, jika kita kaitkan dengan jenis terjemahan menurut Diagram-V Newmark, metode yang digunakan adalah cenderung jenis penerjemahan setia (faithful translation) dan penerjemahan semantik (semantic translation). Dapat dilihat bahwa kedua jenis terjemahan itu berorientasi pada bahasa sumber. Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) di Jakarta tiga bulan yang lalu saya menyaksikan kedua ideologi di atas “berdialog”. Salah satu pembicara – bekerja sebagai penerjemah dan editor pada sebuah penerbit besar di Indonesia – berpendapat bahwa dalam penerjemahan dari bahasa Inggris kita harus tetap mempertahankan sapaan seperti Mr., Mrs., atau Miss agar pembaca masih tetap merasakan kebudayaan bahasa sumber dalam terjemahan. Tidak hanya itu, sapaan Uncle dan Auntie pun tidak diterjemahkan dengan paman dan bibi. Suasana dan kebudayaan bahasa sumber diusahakan untuk hadir maksimal, meskipun teks Inggris telah berubah menjadi teks Indonesia. Tujuannya adalah agar masyarakat pembaca diperkaya pengetahuannya dengan membaca sesuatu yang asing. Pendek kata, ini adalah perwujudan ideologi “foreignization” dengan cara transferensi: menerjemahkan dengan menghadirkan nilai-nilai bahasa sumber. Menarik sekali bahwa pendapat itu ditentang oleh panelis yang lain [yang kebetulan tidak mewakili penerbit, tetapi sebuah asosiasi yang justru berusaha memperkenalkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia kepada dunia luar. Ia justru berpendapat bahwa penerjemahan yang “benar” adalah yang tidak menghadirkan sesuatu yang asing. Jadi Mr., Mrs., dan Miss harus diterjemahkan dengan Bapak, Ibu, dan Nona, sedangkan Uncle dan Auntie menjadi Paman dan Bibi. Terjemahan karya sastra atau cerita anak harus dapat dirasakan sebagai suatu karya asli atau cerita anak yang asli agar dapat dinikmati sebagai bagian dari kebudayaan kita dan bukan sebagai “benda asing”. Di sini kita melihat ideologi yang, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan dengan ideologi “foreignization”. Ini adalah suatu pandangan yang mempercayai bahwa suatu karya terjemahan haruslah “transparan” dan “lancar keterbacaannya” sehingga “berterima” di kalangan pembaca bahasa sasaran. Pertanyaannya sekarang: siapa di antara kedua pembicara di atas itu yang benar? Bagi saya sebenarnya tidak ada yang salah. Keduanya benar karena masing-masing mewakili aspirasi yang ada dalam masyarakat. Meskipun yang pertama mewakili penerbit, saya masih menganggap penerbit berorientasi pada kalangan pembaca di samping berusaha membangun “selera” pembaca, sedangkan untuk yang kedua, saya anggap juga mewakili mereka yang justru menginginkan agar karya asing terasimilasi dalam proses domestikasi.Tentu saja ini bukan hal baru. Novel karangan Hector Malot berjudul Sans Famille terbit di Balai Pustaka denngan judul Sebatang Kara dengan tokoh-tokoh orang Indonesia. Ini jelas domestikasi. Sebaliknya, kumpulan puisi Victor Hugo berjudul Le dernier jour d’un condamdé terbit dengan judul Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati lebih berwarna transferensi karena kita diajak mengalami pengalaman spiritual yang digambarkan oleh terpidana dalam puisi tersebut, bukan di Indonesia tetapi di Prancis.Saya juga teringat pada novel Ramadhan K.H. Royan Revolusi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Monoque Lajoubert. Dalam terjemahannya, kata sapaan seperti Kang, Neng, dan Ceu serta kata seperti bajigur dan kebaya tidak diterjemahkan. Kata-kata itu diberi catatan kaki. Ini merupakan upaya mengetengahkan nilai-nilai bahasa sumber dan suasana Jawa Barat yang digambarkan penulis novel melalui terjemahan bahasa Prancis. Suatu upaya “sending reader abroad”. Domestikasi pada Penerjemahan Film Ideologi domestikasi terjadi dalam penerjemahan film jenis sulih suara. Terjemahan film terdiri atas dua jenis, yakni (a) teks (subtitle) dan (b) sulih suara (dubbing). Masing-masing mempunyai karakteristik teknis yang berbeda.Sulih suara memang dapat dijadikan kebijaksanaan pemerintah, baik dengan pertimbangan politik kebudayaan maupun atas pertimbangan selera masyarakat. Di Prancis misalnya, sulih suara merupakan sesuatau yang kelihatannya dituntut oleh masyarakat penonton mengingat (a) kebanyakan orang Prancis tidak menguasai bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, dan (b) sulih suara dilakukan oleh aktor-aktor terpilih, baik secara profesional maupun secara teknis [misalnya dengan memilih artis yang “warna suara”nya mendekati pemain aslinya[6]]. Ini telah membuat masyarakat penonton di Prancis menjadi “keenakan” karena sulih suara yang dilakukan sangat mendekati kesempurnaan sehingga tidak dirasakan sebagai film asing. Di Paris, misalnya, film-film asing dengan versi bahasa Prancis (version française/VF) hasil sulih suara biasanya ditayangkan di bioskop-bioskop utama berkapasitas besar dan mewah di jalan utama seperti Avenue des Champs-Elysées, sedangkan film-film dengan versi asli (version originale/VO) umumnya diputar di bioskop-bioskop ukuran kecil di daerah dekat universitas seperti Quatier Latin di daerah gedung asli Universitas Sorbonne. Keadaan sekarang mungkin sudah sedikit berbeda, tetapi kecenderungan (baca: ideologi) domestikasi masih tetap mendominasi masyarakat. Saya membayangkan bahwa di luar ibu kota, di daerah-daerah, VF masih merajai gedung-gedung bioskop. Gejala budaya seperti yang saya gambarkan di atas jelas merupakan perwujudan ideologi domestikasi. Hanya saja saya melihat latar belakanganya lebih banyak sosiokultural daripada ekonomi [meskipun dalam pada itu para pengimpor film dan pemilik gedung bioskop memanfaatkannya secara ekonomi].Menurut pengamatan saya, penerjemahan buku di Prancis juga dilakukan dengan cara domestikasi. Buku John Lyons yang berjudul Semantics I dan II diterjemahkan menjadi satu buku dengan hampir semua contoh dari bahasa Prancis. Dengan demikian, buku John Lyons tidak sekedar diterjemahkan, tetapi diterbitkan sebagai VF. Begitu pula dengan banyak buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Ideologi transparansi dan domestikasi masih mendominasi. Ada suatu masa ideologi domestikasi diterapkan oleh Pemerintah Indonesia di zaman Orde Baru. Upaya ini terjadi di bidang penerjemahan film. Penerjemahan teks dan sulih suara sudah lama dilakukan di Indonesia. Namun, yang menarik adalah bahwa pada masa itu pemerintah mewajibkan televisi Indonesia menayangkan film asing pada saat “prime time” dengan penerjemahan sulih suara (dubbing). Sekarang pun sulih suara masih dilakukan, tetapi tanpa ada kewajiban dari pemerintah, dan kelihatannya hanya untuk film-film yang tidak berbahasa Inggris. Masalah sulih suara di Indonesia pernah menimbulkan polemik. Saya pernah mengemukakan bahwa menetapkan kewajiban bagi televisi kita menayangkan film dengan terjemahan sulih suara -- apalagi pada saat “prime time” -- harus dipikirkan matang-matang.[7] Pertama, kita harus siap dengan penerjemah dan penyulih suara (dubbers) yang memenuhi syarat baik profesional maupun secara teknis. Saat ini kualitas profesional maupun teknis belum dapat dikatakan baik, apalagi mendekati sempurna seperti yang dilakukan di Prancis. Saya masih melihat dilakukan “asal-asalan”. Misalnya saja dalam hal lipsync (sikronisasi gerak bibir) masih banyak terjadi ketidaksesuaian. Ini tentunya akibat dari perbedaan fonetis fisiologis antara bahasa asli dan bahasa Indonesia. Apalagi kalau kita amati kesesuaian “warna” suara, secara teknis keadaan kita masih jauh ketinggalan. Rumah-rumah produksi masih belum mampu menyediakan dana yang memadai [karena stasiun televisi juga tidak mau membeli produk sulih suara yang terlalu mahal] sehingga cenderung mengambil penerjemah dan penyulih suara yang bersedia menerima honor kecil. Masalah lainnya adalah kesulitan kita memperoleh padanan untuk ragam bahasa sehari-hari [termasuk “bahasa gaul”] dan sosiolek atau dialek tertentu. Akibatnya, kebanyakan sulih suara menggunakan bahasa Indonesia baku. Ini membuat dialog seringkali terasa tidak wajar. Kedua, dampak sulih suara bisa positif atau negatif. Yang positif antara lain memudahkan “ketertontonan” [maaf, ini istilah baru instan yang beranalogi dengan “keterbacaan”]. Sedangkan yang negatif adalah kemungkinan film yang ditonton melalui media televisi itu terasimilasi ke dalam kebudayaan penonton sedemikian rupa sehingga tidak dianggap sebagai unsur asing lagi. Ini yang terjadi dengan berbagai tayangan sinetron asing – dari telenovela sampai ke film anak-anak – yang umumnya sudah menyatu dengan masyarakat berkat sulih suara. Kalau contoh yang diberikan dalam film-film tersebut baik, maka tentunya dampaknya positif [salah satu di antaranya adalah film kartun Dora Emon yang menyajikan pendidikan tanpa menggurui dan yang kualitas penyulihannya sudah cukup baik]. Akan tetapi, kalau yang disajikan adalah contoh yang tidak patut dicontoh atau menimbulkan efek peniruan, seperti kehidupan mewah dan kejahatan, maka tentunya menjadi negatif. Lepas dari itu semua, memang upaya sulih suara merupakan upaya yang didasari oleh ideologi domestikasi. Masyarakat Kita Makin Terbuka Pada pengamatan saya, kedua ideologi itu kelihatannya hadir bersama di masyarakat kita. Saya tidak melihat adanya dominasi salah satu ideologi secara mencolok. Masyarakat kita sangat terbuka akan kebudayaan yang datang dari luar, sehingga ideologi “foregnization” tidak ditolak, sedang ideologi “domestication” memang sudah lama hidup dalam masyarakat kita, terbukti dari banyaknya adaptasi yang dilakukakn sepanjang sejarah penerjemahan di negeri kita ini. Jadi,.semua itu bukan cuma terjadi sekarang. Nenek moyang kita menerima melalui terjemahan (lisan dan tertulis) unsur-unsur dari kebudayaan Hindu yang bersama agama Hindu meninggalkan jejak yang sangat dalam, agama Islam yang kemudian disertai dengan masuknya kebudayaan Timur Tengah khususnya Arab, tetapi juga disertai lahirnya bentuk-bentuk khas dengan warna kebudayaan setempat, dan agama Kristiani yang diikuti dengan kebudayaan Eropa Barat. Pengaruh terjemahan tetap hadir dari zaman ke zaman. Perlu dicatat di sini bahwa yang saya maksud dengan penerjemahan terdiri atas dua kelompok besar, yakni (a) penerjemahan antarbahasa[8] [yang biasanya kita kenal dengan sebutan “penerjemahan”], dan (b) penerjemahan nonbahasa [yang biasanya kita kenal dengan sebut “transfer budaya” melalui kesenian (sastra, musik, seni rupa, arsitektur), melalui teknologi, dan melalui sistem administrasi dan politik [yang terjadi sepanjang sejarah bangsa kita dengan makin terbukanya informasi melalui media cetak dan elektronik, dan sekarang melalui Internet]. Kedua jenis terjemahan ini ternyata saling mempengaruhi.Perlu dicatat bahwa penerjemahan antarbahasa terdiri atas (a) penerjemahan “formal” yang layaknya kita sebut penerjemahan, dan penerjemahan “nonformal”, yakni penerjemahan yang dilakukan sambil berpikir, berbicara, atau menulis dalam bahasa Indonesia saat menemukan istilah atau ungkapan bahasa asing atau bahasa daerah. Ini adalah biasanya merupakan upaya untuk memperkenalkan terjemahan kata atau istilah baru (neologisme) yang masuk dari penerjemahan nonbahasa. Penerjemahan nonformal memiliki peran yang penting dalam meningkatkan produktivitas neologisme dalam bahasa Indonesia sehingga mendukung penerjemahan formal. Foreignization Makin Banyak Dianut Ideologi foreignization, seperti telah dikemukakan, bukan hal baru di negeri kita. Pada waktu saya masih remaja, di sebuah kota kecil di Jawa Barat, saya seringkali mengunjungi sebuah perpustaan kecil. Koleksi bukunya kebanyakan berupa novel dalam bahasa Sunda. Di samping itu ada sejumlah buku seri novel cerita Tiga Pendekar (Les Trois Musquetaires) dalam bahasa Sunda yang merupakan terjemahan dari bahasa Belanda (diterjemahkan dari bahasa Prancis). Yang menarik adalah bahwa saya masih tetap merasakan bahwa apa yang saya alami secara virtual itu bukan Sunda tetapi sesuatu yang ada di negeri lain dengan kebudayaan yang berbeda. Saya merasa belajar banyak tentang kebudayaan Prancis melalui seri buku terjemahan itu. Ini jelas transferensi yang dadasari ideologi foreignization. Contoh lainnya ialah tentang masuknya soneta ke dalam khazanah puisi Indonesia. Ini jelas transferensi, yang mungkin juga menyangkut teksnya di samping bentuknya.Metode transferensi yang merupakan perwujudan ideologi foreignization bahkan sekarang ini makin banyak dilakukan. Hal ini dilakukan dari mulai penerjemahan berita-berita luar negeri, buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sampai ke karya sastra. Penerjemahan berita luar negeri dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia telah meninggalkan dampak pada diterimanya sekarang sejumlah ungkapan yang sebenarnya bukan bahasa Indonesia, misalnya Ditanya tentang…, Menteri menjawab…dan [Asked about…. , the Minister said…], Menjawab wartawan, Menteri mengatakan… [Answering the journalist, the Minister said…]. Di bidang ekonomi dan kegiatan niaga kita menemukan ungkapan seperti Ide ini baik sekali dan bisa dijual…[This is a brilliant idea, we can sell it…], kata bisnis menjadi pesaing keras kata niaga, kata target tidak lagi sama dengan sasaran, beberapa kata dari bahasa Inggris dibiarkan begitu saja tanpa terjemahan, seperti, cessie, T-bond, spin-off, dan buy-back. Akhir-akhir ini masalah penggunaan kata impeachment yang juga merupakan kata baru dalam kehidupan politik kita. Di bidang komputer kita melihat banyak istilah dan ungkapan yang bukan Indonesia. Misalnya, download, interface, monitor, memory, dan disket. Foreignization juga berlaku pada terjemahan novel dan cerita anak seperti telah saya kemukakan di atas. Upaya mencari padanan dari bahasa daerah atau bahasa Sanskerta tidak selalu berhasil karena kata yang diperkenalkan dianggap usang atau tidak dikenali oleh kebanyakan suku bangsa di Indonesia. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah penerjemahan fonologis, yakni menuliskan kata asing sesuai dengan sistem bunyi bahasa Indonesia. Demikianlah, kita menemukan kata seperti komitmen, komit, opsi, manajer, bisnis, fesyen, dan emiten. Peran Faktor-faktor di Luar Teks Masalah yang mendasar dalam penerjemahan adalah kesulitan menemukan padanan. Meskipun kita sudah menemukan kata atau ungkapan yang dianggap sudah sepadan, setiap unsur bahasa yang kita padankan masih terbuka untuk berbagai penafsiran. Penerjemahan bukan sekadar pengalihbahasaan, tetapi upaya menemukan padanan yang tepat – penerjemahan yang “benar” dan “berterima” -- untuk teks atau unsur teks bahasa sumber. Di sini saja kita sudah menemukan kesulitan karena pengertian penerjemahan yang “benar” dan “berterima” sangat tergantung dari faktor di luar teks itu sendiri. Akibatnya, makna kata, istilah, atau ungkapan pun – selanjutnya saya sebut unsur bahasa atau unsur teks -- menjadi sangat tergantung dari faktor di luarnya.Faktor luar apa yang mempengaruhi makna? Yang pertama adalah penulis teks [dengan istilah yang lebih umum pengirim atau pemroduksi]. Masalahnya, baik teks bahasa sumber maupun bahasa sasaran, keduanya sebenarnya sama-sama mempunyai sifat “derivatif”. Penulis, dalam menghasilkan tulisannya tidak bebas dari pengaruh pendidikan, bacaan, dan faktor luar lain yang mempengaruhi tulisannya. Ia sudah berada dalam jaringan intertekstual.[9] Apalagi teks terjemahannya. Faktor kedua adalah penerjemah. Penerjemah, dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber tidak terlepas pula dari jaringan intertekstual tersebut. Penerjemah juga terpengaruh oleh ideologi dan melakukan mediasi sesuai dengan pertimbangannya. Faktor ketiga adalah sidang pembaca yang bisa mempunyai penafsiran yang bermacam-macam tentang teks terjemahan yang dibacanya, karena juga berada dalam jaringan intertekstual. Faktor keempat adalah perbedaan norma yang berlaku dalam bahasa sasaran dan bahasa sumber. Faktor kelima adalah kebudayaan yang melatari bahasa sumber yang berbeda dengan kebudayaan yang melatari bahasa sasaran. Faktor keenam adalah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara berbeda-beda oleh penulis teks sumber dan penerjemah serta pembaca (cf. Newmark 1998: 4). Oleh karena itu, suatu unsur bahasa yang digunakan dalam teks makna menjadi sangat tergantung dari faktor-faktor tersebut di atas. Penerjemah mempunyai tugas – dan tanggung jawab – yang berat karena ia harus mampu memahami dunia teks sumber dan dunia pembaca teks sasaran. Oleh karena itu, tidak ada penerjemahan yang sepenuhnya benar atau salah. Hal itu lebih-lebih lagi terjadi di bidang penerjemahan karya sastra. Dalam setiap proses penerjemahan, ia tidak pernah terlepas dari tindakan mengintervensi proses penerjemahan itu, yang dikenal dengan nama mediasi. Mediasi[10] Lepas dari ideologi apa yang dipilih, di sini kita menyaksikan peran sentral seorang penerjemah. Keputusan yang diambilnya dalam memilih salah satu ideologi dalam menerjemahkan dapat didasari oleh keyakinannya, tekanan dari penerbit, atau keinginan memenuhi selera masyarakat pembaca. Ada kalanya penerbit yang menentukan pilihan itu atas pertimbangan ekonomi atau kehati-hatian terhadap reaksi masyarakat.Oleh karena itu, benar-salah dalam penerjemahan menjadi relatif. Penerjemah dalam hal ini mengintervensi proses pengalihbahasaan. Intervensi seperti itu dikenal dengan nama mediasi. Venuti (1955: 33) memberikan contoh dari terjemahan Latin-Inggris di mana penerjemah secara jelas melakukan mediasi. Stipendia prima in Asia fecit Marci Thermi praetoris contubernio; a quo ad accersendam classem in Bithyniam missus desedit apud Nicomeden, non sine rumorem prostratae regi pudicitiae; quem rumorem auxit […] Diterjemahkan menjadi Caesar first saw military service in Asia, where he went as aide-de-camp to Marcus Thermus, the provincial governor. When Thermus sent Caesar to raise a fleet in Bithynia, he wasted so much time at King Nicomedes’ court that a homosexual relationship between them was suspected, and suspicion gave place to scandal […] Venuti mengamati bahwa terjemahan tersebut di atas berorientasi pada masyarakat sasaran (Inggris) yang “homofobia”, yang pada zaman itu (1957) masih sangat dominan. Kata rumorem tidak diterjemahkan dengan rumours, tetapi dengan kata yang lebih “keras”, yakni suspicion [dalam konteks ini, was suspected]. Frase prostratae regi pudicitae alih-alih diterjemahkan dengan surrendered his modesty to the king diberi padanan yang lebih “terbuka”, yakni homosexual relationship. Kemudian, frase rumorum exit yang berarti the rumour spread diterjemahkan menjadi suspicion gave place to scandal. Venuti menyimpulkan dari contoh terjemahan ini bahwa ada mediasi ke arah domestikasi yang didasari oleh pandangan negatif tentang homoseksualitas.Masih mengenai domestikasi, di bawah ini sebuah contoh kutipan penerjemahan dari novel Jacques Borel, L’Adoration dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris oleh N. Denny [dikutip dari Newmark 1988: 184]. Novel Jacques Borel adalah sebuah novel psikologi yang menggambarkan situasi kejiwaan dari seorang pejuang Prancis melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Kutipan ini menggambarkan kesannya ketika kembali ke suatu kota yang ditemukannya kembali beberapa tahun setelah perang usai. Segi retorikanya – kalimat yang terputus-putus oleh koma dan pilihan kata yang memperlihatkan bahwa ia melihat sesuatu yang serupa tetapi tak sama -- sangat penting karena memperlihatkan gejolak hatinya.Cette rue, cette place ressemble à la rue, à la place d’alors: elles ne sont pas les mêmes, et, les autres, je puis avoir l’impression qu’elles existent encore. Diterjemahkan menjadi Those places look as they did then, but they are not the same; and as for the others, I have the feeling that they still exist.[Newmark memperlihatkan terjemahan setia dari kalimat Borel di atas sebagai berikut: “This street, this square are like the street, the square of those times; they are not the same, and as for those others, I may feel that they still exist.”] Kalimat di atas diterjemahkan dengan mengubah segi retorikanya [menggunakan metode yang mendekati komunikatif], yang menurut Newmark dianggap oleh penerjemahnya sebagai lebih “cocok” bagi pembaca Inggris. “[…] Mr. Denny wanted to make an emotional, dramatic utterance into a calm, natural statement.” (ibid.). Ini adalah keputusan Denny, sang penerjemah yang dibayangi oleh ideologi domestikasi.Contoh sebaliknya, foreignization, saya peroleh dari terjemahan puisi Victor Hugo [oleh Laddy Lesmana, tanpa tahun, diperkirakan 2003]. Di sini ada upaya untuk menghadirkan Victor Hugo dan suasana Prancis dalam bahasa Indonesia. Bicêtre.Condamné à mort!Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seull avec elle, toujours glacé de sa présence, toujours coubé sous son poids! […] (halaman 1) Diterjemahkan menjadi Bicêtre. Dihukum mati !Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya! […] (halaman 2) Je n’ai plus que trois pas à faire: Bicêtre, la Cociergerie, la Grève […] (halaman 37) Diterjemahkan menjadi Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui: penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grève […] (halaman 38) Ah ça! Ne vous trompez pas; nous avons changé de pelure, monsieur et moi; […] (halaman 60) Diterjemahkan menjadi Ah! Jangan salah! Kami bertukar mantel, tuan itu dan aku […] (halaman 61) Dari ketiga contoh di atas terlihat bahwa Lesmana ingin menjaga agar “jarak” antara bahasa sumber dan bahasa sasaran tetap dekat. Mengacu pada Gambar 1 di atas, ini adalah faithful translation. Ada upaya agar Hugo dan Prancis hadir dalam bahasa Indonesia. Ini adalah mediasi yang didasari oleh ideologi foreignization. Bagaimana Sikap Kita?Sudah barang tentu kita semua bertanya: “Bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi makin banyaknya karya terjemahan dewasa ini?” Baiklah saya kutip dulu bagian tulisan Itamar Even-Zohar (2000:192-197)[11] yang membicarakan kedudukan karya sastra terjemahan dalam sistem kesusastraan yang beragam. Karya sastra terjemahan bisa memiliki posisi sentral atau periferal, tergantung dari keadaan sastra dalam suatu masyarakat pada suatu masa dalam sejarah sastra. Hal ini karena menurut Even-Zohar (2000:192) karya terjemahan (a) [...] their source are selected by the target literature […] dan (b) in the way they adopt specific norms, behaviors, and policies – in short, in their use of literary repertoire – […]. Dalam kaitan ini, Even-Zohar mengemukakan bahwa karya terjemahan biasanya berada pada posisi sentral bila sastra bahasa sasaran masih “muda” atau berada dalam siatuasi “turning point” sehingga sastra terjemahan menjadi tumpuan untuk mengisi “kekurangan” yang dirasakan masyarakat. Atau memang di dalam masyarakat terasa adanya kebutuhan akan sesuatu yang baru. Ini makin mungkin terjadi dalam masyarakat yang makin terbuka. Sebaliknya sastra terjemahan menduduki posisi periferal bila sastra bahasa sasaran memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakatnya. Namun, pada hemat saya semua itu tidak ada kaitannya dengan ideologi yang dianut oleh masyarakat sastra bahasa sasaran. Penerjemah seringkali dipengaruhi oleh kebutuhan menyesuaikan dengan tuntutan dan selera masyarakat – atau atau berada di bawah tekanan kepentingan penerbit – sehingga ia memilih salah satu dari dua ideologi, yakni “domestikasi” atau “foreignization”. Meskipun demikian, saya mengutip Even-Zohar untuk mengatakan bahwa apa yang digambarkannya itu tidak hanya terjadi dalam bidang sastra. Kita sudah menyaksikan sendiri bahwa tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi di negara maju sangat berkembang dan kita membutuhkannya untuk kemajuan masyarakat kita, karya terjemahan tiba-tiba menduduki posisi sentral. Dewasa ini hal itu masih terjadi karena kita memang sangat ketinggalan di bidang ilmu pengnetahuan dan teknologi. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang bisnis, termasuk bidang periklanan. Jadi, ideologi dalam penerjemahan dalam masyarakat kita menjadi pilihan yang disesuaikan denngan kebutuhan masyarakat pembaca. Dalam hal ini, sikap kita seharusnya terbuka pada kedua ideologi yang saya kemukakan di atas. Keduanya dapat memberikan dampak positif atau pun negatif karena akhirnya karya terjemahan berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam zaman globalisasi seperti sekarang ini, hanya pendidikan dan peningkatan pengetahuanlah yang dapat menentukan (baca: menyaring) secara alamiah dampak dari sebuah terjemahan.Jadi, kita sudah mendapatkan jawaban dari apa yang saya kemukakan pada awal tulisan ini: “bagaimana terjemahan yang ‘benar’ itu?”. Dari apa yang saya uraikan, kita mendapat jawaban: “Tergantung ideologi yang kita anut”. Ini adalah pandangan secara makro[12] yang lebih menonjolkan pengertian bahwa faktor yang menentukan benar-salahnya suatu terjemahan seringkali berada di luar teks itu sendiri dan yang menempatkan penerjemahan serta karya terjemahan sebagai bagian kebudayaan masyarakat.Dewasa ini penelitian di bidang ini boleh dikatakan belum ada. Sebaiknya para peneliti sudah mulai melakukannya agar sekian banyak pertanyaan tentang fenomena penerjemahan – khususnya karya sastra dan intelektual – seperti kualitas terjemahan dan perannya di dalam masyarakat kita dapat dijawab.[ ] Daftar Pustaka Barthes, R. 1957. Mythologies. Paris: Seuil. Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Even-Zohar, I. 2000. “The Position of Translated Literature within The Literary Polysystem” dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 192-197). Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as Communicator. London/New York: Routledge. Hoed, B. H. 2003. “Kiat: Mediasi” dalam Lintas Bahasa 22/2003. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB-UI. Jakobson, R. 2000. “On Linguistic Aspects of Translation” dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 113-118). Karya asli terbit tahun 1959. Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York/London: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Ch. R. Taber. (1969) 1974. The Theory and Practice of Translation. Den Haag: Brill. Venuti, L. 1995. The Translator’s Invisibility. A History of Translation. London/New York: Routledge. Vermeer, H. J. 2000. “Skopos and Commission in Translational Action (diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh A. Chesterman) dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 221-232). Karya asli terbit tahun 1989. [1]Pernyataan ini sebenarnya lemah, karena dalam penerjemahan teks ijazah pun ada faktor budaya yang bermain, misalnya perbedaan sistem pendidikan dan sistem pemberian nilai yang melatari bahasa sumber dan bahasa sasaran. Akan tetapi, saya kemukakan di sini untuk memberi tekanan pada pandangan saya bahwa penerjemahan dan karya terjemahan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat. [2] Penerjemahan kata demi kata biasanya dilakukan dalam proses praktik penerjemahan atau analisis terjemahan, sebelum sampai pada hasil final. Penerjemahan harfiah juga demikian. Tujuannya adalah agar seluruh komponen bentuk dan semantiknya dapat dikontrol secara cermat oleh penerjemah. [3] Bahkan, Vermeer (2000: 221-232) berbicara tentang “skopos” (dari bahasa Yunani yang berarti “tujuan”). Skopos adalah suatu metode penerjemahan yang didasari oleh tujuan tertentu sehingga intervensi penerjemah dalam proses penerjemahan (yang biasanya didasari oleh permintaan klien) menjadi sangat dominan. Intervensi seperti itu dikenal dengan nama mediasi. [4]Yang dimaksud di sini adalah teks sumber yang oleh Venuti diartikan “teks bahasa asing” (foreign text) ditinjau dari segi bahasa Inggris. Venuti di sini membicarakan kegiatan penerjemahan di Amerika Serikat. [5] Istilah ini dapat kita temui pada Catford (1965: 43-48): “It is, however possible to carry out an operation in which the TL [target language] text, or rather, parts of the TL text, do have values set up in the SL [source language]: in other words, have SL meanings. We call this process transference”. [6]Saya masih ingat pengalaman di Paris – dan sekaligus kagum – menonton Marlon Brando berbahasa Prancis dalam film On The Waterfront dan Audrey Hepburn disulih menjadi berbahasa Prancis yang sosioleknya sepadan dengan bahasa Inggris Cockney di London dalam fim My Fair Lady. Ini sungguh menyenangkan penonton Prancis. [7] Saya perlu meminta maaf kepada pembaca karena tidak dapat menyebutkan dua tulisan saya mengenai sulih suara ini, yang pertama di sebuah surat kabar ibu kota dan yang kedua di sebuah laporan lokakarya yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas, tahun 1997 (?). Namun, saya masih ingat apa isi tulisan saya itu. [8] Roman Jakobson bahkan berbicara tentang penerjemahan intrabahasa yakni penerjemahan dari satu ragam bahasa ke ragam bahasa yang lain. Jakobson menyebutkan tiga jenis penerjemahan (1) intralingual, (2) interlingual, dan (3) intersemiotic. Yang terakhir pada pandangan saya mencakupi apa yang saya sebut dengan penerjemahan nonbahasa dalam karangan ini (lihat Jakobson 2000: 113-118; karangan aslinya bertahun 1959 dalam R. Brower (Ed.). On Translation. Cambridge, Mass.: Harvard University Press ). [9] Sebenarnya penulis dan penerjemah berada dalam konteks sosial budaya tertetu. Istilah intertekstual dimaksudkan mempunyai makna yang sama dengan sosial budaya, tetapi dengan tekanan pada konsep kebudayaan sebagai teks. [10] Sebagian dari seksi nomor 6 ini mengandung banyak kutipan, dengan baberapa perubahan dan tambahan, dari tulisan saya di majalah Lintas Bahasa nomor 22 (terbaru) tahun 2003 [dalam rubrik Kiat] terbitan Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. [11] Tulisan ini terdapat dalam Venuti (Ed.). 2000. The Translation Studies Reader. Aslinya terdapat dalam jurnal Poetics Today #11 (1990): 54-51. [12] Pandangan secara mikro tentang benar-salah dalam penerjemahan biasanya didasari oleh tiga faktor, yakni (1) linguistik [sintaksis, semantik, pragmatik], (2) kiat menerjemahkan [misalnya transposisi dan modulasi], (3) pertimbangan estetis, dan (4) selera penerjemah/pembaca (cf. Newmark 1988: 189) DI Sadur Dari http://kampusislam.com/content/view/63/1/ Bahasa Arab Amiyah Mesir (Sebuah Pengantar Studi Dialektologi Arab) Oleh Achmad Atho'illah A. Bahasa Arab Fusha dan Amiyah Bahasa Arab adalah bahasa yang masuk dalam sub-rumpun Semit dari rumpun Hamito-Semit atau Afro-Asiatik. Bahasa ini termasuk dalam bahasa klasik yang paling luas penggunaannya di dunia ini dari pada bahasa-bahasa klasik lainnya, seperti bahasa Latin, bahasa Sanskerta, bahasa Ibrani, dan bahasa lainnya. Mengapa? Karena bahasa ini merupakan bahasa al-Qur’an yang dibaca oleh berjuta-juta kaum muslimin di penjuru alam ini, yang kemudian mereka gunakan dalam penulisan maupun pembahasan masalah-masalah yang masih terkait dengan agama. Setiap bahasa digunakan oleh orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Masyarakat bahasa Arab adalah semua orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Arab. Sebagai salah satu bahasa besar dunia, masyarakat bahasa Arab menyebarluas di dua benua, Asia dan Afrika. Selain itu, bahasa Arab juga digunakan sebagai bahasa resmi di sekitar 22 negara yang total populasi pemakainya mencapai kurang lebih 120 juta orang. Anggota masyarakat suatu bahasa—termasuk juga bahasa Arab—biasanya beragam. Apakah itu dari segi status sosial, atau pun latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota masyarakat itu ada yang berpendidikan dan ada yang tidak, ada yang tinggal di kota dan ada yang tinggal di desa, ada yang dewasa dan ada yang anak-anak, ada yang berprofesi sebagai dokter, petani, pegawai kantor, nelayan, dan sebagainya. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam. Ada beberapa istilah tentang variasi bahasa, yaitu idiolek, dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat perseorangan. Dialek adalah bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat (dialek regional / areal / geografi) atau suatu waktu (dialek temporal / kronolek). Adapun ragam adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan, atau untuk keperluan tertentu. Bahasa Arab dilihat dari ragamnya dapat dibedakan ke dalam dua macam bentuk, yaitu: Pertama, bahasa Arab fusha (ragam standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa Arab fusha adalah bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, situasi-situasi resmi, penggubahan puisi, penulisan prosa dan juga ungkapan-ungkapan pemikiran (tulisan-tulisan ilmiah). Secara umum bahasa ini dapat diklasifikasikan dalam dua tingkatan, yaitu Bahasa Arab Klasik (Classical Arabic) yang digunakan dalam bahasa al-Qur'an dan Bahasa Arab Standar Modern (Modern Standard Arabic) yang digunakan dalam bahasa ilmiah. Kedua, bahasa Arab amiyah (ragam non-standar). Menurut Emil Badi' Ya'qub, bahasa amiyah atau yang sering dikenal dengan al-Lahjah adalah bahasa yang digunakan dalam urusan-urusan biasa (tidak resmi), dan yang diterapkan dalam keseharian. Bahasa ini tidak lain adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Adapun istilah-istilah lain yang sering digunakan oleh para ahli bahasa untuk menyebut jenis bahasa ini adalah الشكل اللغوي الدارج, اللهجة الشائعة, اللغة المحكية, اللغة العربية العامية, اللهجة الدارجة, اللهجة العامية, اللغة الدارجة, الكلام الدارج, الكلام العامي, dan ada pula yang menyebutnya dengan istilah لغة الشعب. Namun, menurut penulis pengertian sebagaimana yang diungkapkan oleh Emil Badi' tersebut tidak selamanya benar, karena pada kenyataannya bahasa Arab amiyah pun telah merambah dan digunakan dalam bahasa-bahasa sastra seperti penggubahan puisi dan penulisan prosa, terlebih setelah terbentuknya negara-negara Arab merdeka. Berdasarkan tempatnya (dialek geografi), bahasa Arab dibedakan ke dalam dialek Libanon, Iraq, Syiria, Algeria, Maroko, Libya, Sudan, Saudi Arabia, Palestina, dan Mesir. Lebih dari itu, setiap dialek tersebut ternyata memiliki sejumlah sub-sub dialek yang beragam pula. Semisal di dalam dialek Mesir, ada dua bentuk dialek yang berbeda, yaitu dialek Mesir bagian Bawah/Hilir (Lower Egyptian) dan dialek Mesir bagian Atas/Hulu (Upper Egyptian). Dari beragam dialek bahasa Arab tersebut memang terdapat perbedaan satu sama lain sehinga dimungkinkan mereka saling tidak memahami. Sebagai contoh antara bahasa Arab dialek Mesir (bAdM) dengan bahasa Arab dialek Syria (bAdS). Dalam bAdM, kalimat “Apa yang sedang kamu lakukan?” diungkapkan dengan: “biti’mel eh?”. Adapun di Syiria diungkapkan dengan: “shu’am-t’saawi”. Catatan bahwa hampir semua kata-kata penyusun dari kalimat tersebut jauh berbeda, yaitu: kata kerja “mengerjakan” dalam bAdM “yi’mel” sedangkan dalam bAdS “yisaawi”, kata tanya “apa” dalam bAdM “eh” sedangkan dalam bAdM “shu”, konstruksi bentuk simple continuous tense “sedang” dalam bAdM mendapatkan awalan “bi” sedangkan dalam bAdS mendapat awalan “’am”, dan perbedaan yang terakhir posisi kata tanya “apa” dalam bAdM diletakkan di belakang sedangkan dalam bAdS diletakkan di depan. Begitu juga penggunaan kata “apa” dan “ini”. Dalam bAdM penggunaan kedua kata tersebut cenderung diletakkan di belakang, sedangkan dalam bAdS sebaliknya. Sehingga ketika ingin megungkapkan: “Apa yang kamu inginkan?”, orang Mesir akan mengatakan: “’ayiz eh?”, sedangkan orang Syria akan mengatakan: “shu bidak?”. Begitu pula ketika ingin mengungkapkan: “Ini buku”, orang Mesir mengatakan: ‘el-kitaab da”, sedangkan orang Syria akan mengatakan: “hal-kitab”. Walaupun memang ada yang mengatakan bahwa kedua bahasa dialek tersebut memiliki kesamaan dalam sintaksisnya, akan tetapi dengan adanya perbedaan kosakata yang digunakan menjadikan mereka tidak saling faham. Hal inilah yang menjadikan salah satu sebab munculnya kontroversi di kalangan masyarakat Arab sendiri tentang penggunaan bahasa ‘amiyyah itu sendiri. Di antara mereka ada yang sepakat dan ada pula yang tidak sepakat digunakannya bahasa ini. Mereka yang sepakat sebagian besar berpendapat bahwa bahasa Arab fusha adalah bahasa Arab yang paling tinggi tingkatannya. Bahasa ini bahasa yang persatuan negeri Arab atau antar kaum muslimin di dunia ini. Adapun mereka yang sepakat dengan digunakannya bahasa Arab ‘amiyyah seperti digunakannya bahasa tersebut sebagai bahasa resmi negara, karena bahasa Arab akan mengalami stagnasi jika hanya bahasa fusha yang berlaku. Menurut Wafy bahasa ‘amiyyah yang menjauh dari bahasa Arab fusha baik itu di Irak, Syam, Hijaz, Yaman, Mesir, dan Maroko, sebenarnya hanya perbedaan kecil saja yaitu dalam sistem pembentukan kalimat, perubahan pembentukan, kaidah-kaidah isytiqaq (derivasi), jamak, ta’nits, sifat, nisbah, dan tashghir. Hubungan antara bahasa Arab ‘amiyyah dengan bahasa Arab fusha seharusnya dapat dijelaskan secara gamblang. Dalam beberapa bahasa terdapat tingkatan kultur pemakaian dan macam fungsi. Agar penggunaan bahasa Arab lebih efektif maka salah satu caranya adalah kita harus tahu tentang tingkatan dan fungsi tersebut. Lebih dari itu, bahasa Arab selalu berubah di setiap abad. Oleh karena itu, secara garis besar kita mungkin dapat membedakannya sebagai berikut: 1. Bahasa Arab Klasik atau Bahasa Arab Al-Qur’an lebih mengaju secara spesifik pada grammar dan penggunaan Al-Qur’an hingga sampai pada masa kekhalifahan. 2. Bahasa Arab formal kontemporer lebih mengacu secara spesifik pada grammar bahasa Arab dan penggunaannya pada abad ke-20. Termasuk dalam kategori ini, kita mungkin saja menekankan penulisan bahasa Arab secara formal sekalipun terkadang menimbulkan sebuah kesalahan besar dengan mengabaikan penulisan secara informal atau spoken Arabic. 3. Bahasa Arab ‘amiyyah atau Spoken Arabic mengacu pada bentuk bahasa Arab yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Perlu dicatat, bahwa bagaimanapun juga orang-orang Arab yang tak berpendidikan jarang sekali menggunakan bahasa formal dan klasik dalam percakapan mereka. Tidak ada gunanya mengatakan bahwa tiga kategori tersebut saling tumpang tindih. Karena kategori-kategori ini dapat digunakan sebagai perbandingan dalam menentukan tipe bahasa Arab. B. Bahasa Arab Amiyah Mesir dan Macamnya Bahasa Arab amiyah Mesir adalah bahasa lisan (percakapan) yang digunakan di negara Mesir dan beberapa wilayah Arab lainnya, semisal Sudan. Pada awalnya, penduduk Mesir menggunakan bahasa Qibti sebagai bahasa sehari-hari mereka. Setelah bangsa Arab memasuki wilayah Mesir (fathul-‘arab), maka tersebarlah bahasa Arab. Pada perkembangannya, bahasa Qibti mulai ditinggalkan dan tergantikan oleh bahasa Arab. Akan tetapi, bahasa Arab yang digunakan di Mesir tidak bisa terlepas dari dialek bahasa asli yang sudah mapan. Jadi, bahasa Arab amiyah Mesir merupakan bahasa Arab amiyah yang mendekati bahasa Arab fusha dengan dialek Mesir. Berdasarkan tempatnya (dialek geografi), secara garis besar bahasa Arab amiyah Mesir dibedakan ke dalam dua bentuk dialek, yaitu dialek Mesir bagian Bawah/Hilir (Lower Egyptian) dan dialek Mesir bagian Atas/Hulu (Upper Egyptian). Dialek geografi ini dapat juga diklasifikasikan berdasarkan tempat di mana dialek itu digunakan, semisal dialek Cairo, dialek Alexandria, dialek Luxor, dialek Aswn, dan lain sebagainya. Adapun dilihat dari status sosial penggunanya (dialek sosial/sosiolek), bahasa Arab amiyah Mesir dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu bahasa percakapan kaum terpelajar (the Educated Spoken Arabic), bahasa percakapan masyarakat biasa yang telah mengalami pencerahan (the Enlightened Spoken Arabic), dan bahasa percakapan masyarakat yang buta huruf (the Illiterate Spoken Arabic). C. Karakreristik Bahasa Arab Amiyah Mesir Sebagai bahasa percakapan, bahasa Arab amiyah Mesir dilihat dari segi fonologi memiliki beberapa karakteristik, di antaranya: 1. Huruf vokal terakhir diwaqafkan. Contoh: كَتَبْ /kátab/ (dia membaca) berasal dari كَتَبَ /kataba/. 2. Huruf vokal kata sandang al yang berada di awal kata dibaca melemah. Contoh: اِلْوَلَدْ /elwálad/ (anak laki-laki) berasal dari الوَلَدُ /alwaladu/. 3. Adanya substitusi ( الإبدال ) dari beberapa huruf dalam pengucapan. Seperti berubahnya huruf ج (jim) yang diucapkan /je/ pada bahasa Arab fusha, menjadi /ge/ pada Bahasa Arab amiyah Mesir. Contoh: kata جَرِيْدَة, dalam bahasa Arab fusha di ucapkan /jarīdah/, sedangkan dalam bahasa Arab amiyah Mesir diucapkan menjadi /garīdah/. Huruf ق (qaf) terkadang diucapkan seperti dalam bahasa fusha, tetapi kebanyakan dalam bahasa Arab amiyah Mesir diucapkan seperti huruf ء (hamzah). Sebagai contoh: kata قَلَم dalam bahasa Arab fusha di ucapkan /qalam/, sedangkan dalam bahasa Arab amiyah Mesir pengucapannya menjadi /’alam/. Mari kita perhatikan beberapa karakteristik penting dari bahasa Arab Amiyah Mesir dan sekaligus perbedaannya dari bahasa Arab Fusha berikut ini. 1. Huruf Abjad a. Bahasa Arab Fusha Nama Huruf Latin Huruf Arab Nama Huruf Latin Huruf Arab alif A ا Dhād d} ض bā’ B ب thā’ t} ط tā’ T ت zhā’ d{ ظ tsā’ s\ ث ‘ain ‘a ع jīm J ج ghain g غ hā’ h{ ح fā’ f ف khā’ kh خ qāf q ق dāl d د kāf k ك dzāl z\ ذ lām l ل rā’ r ر mīm m م zai z ز nūn n ن sīn s س waw w و syīn sy ش hā’ h هـ shād s} ص yā’ y ي b. Bahasa Arab Amiyah Mesir Nama Huruf Latin Huruf Arab Nama Huruf Latin Huruf Arab Alef a ا dhadh dh ض Beh b ب tha th ط The t ت zha zh ظ Tseh ts ث ‘ain ‘a ع Gim g ج ghein gh غ Hah h ح feh f ف Khah kh خ qaf q ق Dal d د kaf k ك Dzal dz ذ lam l ل Reh r ر miim m م Zen z ز nun n ن Seen s س waw w و Syin sy ش heh h هـ shadh sh ص yeh y ي 2. Pronomina / Kata Ganti Pronomina terpisah (adh-dhamir al-munfashil/ separate pronoun ) a. Bahasa Arab Fusha هُوَ Huwa dia (m.s.) هُمَا Huma mereka berdua (m.d.) هُمْ Hum mereka (m.pl.) هِىَ Hiya dia (f.s.) هُمَا Humā dia (f.d.) هُنَّ Hunna mereka (f.pl.) أَنْتَ Anta kamu (m.s.) أَنْتُمَا Antumā kalian berdua (m.d.) أَنْتُمْ Antum kalian (m.pl.) أَنْتِ anti kamu (f.s.) أَنْتُمَا Antumā kalian berdua (f.d.) أَنْتُنَّ Antunna kalian (f.pl.) أَنَا Ana Saya نَحْنُ Nahnu Kita b. Bahasa Arab Amiyah Mesir dia (m.s.) huwwa هُوَّ dia (f.s.) hiyya هِىَّ mereka (m./f.d. dan pl.) humma هُمَّ kamu (m.s.) inta إِنْتَ kamu (f.s.) intī إِنْتِىْ kalian (m./f.d. dan pl.) intum / intū إِنْتُمْ/إِنْتُوا Saya ana أَنَا Kita ihnā إِحْنَا Pronomina bersambung (adh-dhamir al-muttashil/ connected pronoun) Sufiks Pronomina Bersambung dalam Berbagai Kasus a. Kata kerja (Verba) dan Sufiks Pronomina FUSHA AMIYAH ARTI شَكَرَ شَكَرَنِى شَكَرَكَ شَكَرَكِ شَكَرَهُ شَكَرَهَا شَكَرَنَا شَكَرَكُمْ شَكَرَهُمْ شَكَرْ شَكَرْنِى شَكَرَكْ شَكَرِكْ شَكَرَ (هْ) شَكَرْهَا شَكَرْنَا شَكَرْكُمْ شَكَرْهُمْ Ia telah berterima kasih Ia telah berterima kasih kepadaku Ia telah berterima kasih kepadamu (m.s.) Ia telah berterima kasih kepadamu (f.s.) Ia telah berterima kasih kepadanya (m.s) Ia telah berterima kasih kepadanya (f.s) Ia telah berterima kasih kepada kami Ia telah berterima kasih kepada kalian (pl.) Ia telah berterima kasih kepada mereka b. Kata benda (Nomina) dan Sufiks Pronomina FUSHA AMIYAH ARTI يَوْمٌ نَهَارْ Hari يَوْمِى يَوْمُكَ يَوْمُكِ يَوْمُهُ يَوْمُهَا يَوْمُنَا يَوْمُكُمْ يَوْمُهُمْ نَهَارِىْ نَهَارَكْ نَهَارِكْ نَهَارُ (هْ) نَهَارْهَا نَهَارْنَا نَهَارْكُمْ/نَهَارْكُوا نَهَارْهُمْ hariku harimu (m.s.) harimu (f.s.) harinya (m.s.) harinya (f.s.) hari kami hari kalian (pl.) hari mereka c. Kata Depan (Preposisi) dan Sufiks Pronomina FUSHA AMIYAH ARTI عَلى عَلَى di atas عَلَيَّ عَلَيْكَ عَلَيْكِ عَلَيْهِ عَلَيْهَا عَلَيْنَا عَلَيْكُمْ عَلَيْهِمْ عَلَيَّ عَلَيْكْ عَلَيْكِ عَلَيْهْ عَلَيْهَا عَلَيْنَا عَلَيْكُمْ عَلَيْهُمْ di atasku di atasmu (m.s.) di atasmu (f.s.) di atasnya (m.s.) di atasnya (f.s.) di atas kami di atas kalian (pl.) di atas mereka 3. Pembentukan Kata (Konjugasi) a. Bahasa Arab Fusha SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI هُوَ dia (m.) يَـ.. يَدْرُسُ Dia (m.) sedang belajar هُمَا kalian berdua (m.) يَـ..ـان يَدْرُسَانِ Kalian berdua (m.) sedang belajar هُمْ mereka (m.) يَـ..ـون يَدْرُسُوْنَ Mereka (m.) sedang belajar هِىَ dia (f.) تَـ.. تَدْرُسُ Dia (f.) sedang belajar هُمَا kalian berdua (f.) تَـ..ـان تَدْرُسَانِ Kalian berdua (f.) sedang belajar هُنَّ mereka (f.) يَـ..ـنَ يَدْرُسْنَ Mereka (f.) sedang belajar أنْتَ kamu (m.) تَـ.. تَدْرُسُ Kamu (m.) sedang belajar أَنْتُمَا kalian berdua (m.) تَـ..ـان تَدْرُسَانِ kalian bedua (m.) sedang belajar أَنْتُمْ kalian (m.) تَـ..ـون تَدْرُسُوْنَ Kalian (m.) sedang belajar أَنْتِ kamu (f.) تَـ..ـيْنَ تَدْرُسِيْنَ Kamu (f.) sedang belajar أَنْتُمَا kalian berdua (f.) تَـ..ـان تَدْرُسَانِ kalian bedua (f.) sedang belajar أَنْتُنَّ kalian (f.) تَـ..ـنَ تَدْرُسْنَ kalian (f.) sedang belajar أَنَا Saya أ... أَدْرُسُ Saya sedang belajar نَحْنُ kita/kami نَـ... نَدْرُسُ Kita/kami sedang belajar Untuk membentuk verba present tense/continuous tense menjadi future tense dalam bahasa Arab fusha adalah dengan cara menambahkan huruf sîn (سَـ) atau saufa (سَوْفَ) di depan verba tersebut. Contoh: يَدْرُسُ (Dia sedang belajar) menjadi سَيَدْرُسُ atau سَوْفَ يَدْرُسُ (Dia akan belajar). b. Bahasa Arab Amiyah Mesir SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI هُوَّ dia (m.) يِـ... يِدْرِسْ Dia (m.) sedang belajar هُمْ mereka (m./f.) يِـ...ـوا يِدْرِسُوْا Mereka sedang belajar هِيَّ dia (f.) تِـ... تِدْرِسْ Dia (f.) sedang belajar إِنْتَ kamu(m.) تِـ... تِدْرِسْ Kamu (m.) sedang belajar إِنْتُو kalian (m./f.) تِـ...ـوا تِدْرِسُوْا Kalian sedang belajar إِنْتِى kamu (f.) تِـ...ـى تِدْرِسِى Kamu (f.) sedang belajar أَنَا saya أَ... أَدْرِسْ Saya sedang belajar إِحْنَا kita/kami نِـ... نِدْرِسْ Kita/kami sedang belajar 1. Dalam bahasa Arab amiyah Mesir, huruf mudhara'ah untuk orang pertama (jamak), orang kedua (tunggal dan jamak), dan orang ketiga (tunggal dan jamak) selalu di baca kasrah, kecuali jika setelahnya ada huruf vokal yang berharakat dhammah. Jika demikian, huruf mudhara'ah juga di baca dhammah. Adapun untuk orang pertama tunggal huruf mudhara'ahnya selalu dibaca fathah. Contoh : يُقُوْلْ (dia lk. berkata)[huruf ya' di dhammah], تُدْخُلْ (kamu masuk) [huruf ta' di dhammah], أَقُوْلْ (aku berkata) [huruf alif di fathah], dan lain sebagainya. 2. Dalam bahasa Arab amiyah Mesir tidak mengenal adanya dual, yang ada adalah singular dan plural. 3. Untuk membentuk verba present tense menjadi continuous tense dalam bahasa Arab amiyah Mesir adalah dengan cara menambahkan huruf bi (بِـ) di depan verba tersebut. Contoh:يِدْرِسْ (Dia belajar) menjadi بِيِدْرِسْ (Dia sedang belajar). 4. Untuk membentuk verba present tense menjadi future tense dalam bahasa Arab amiyah Mesir adalah dengan cara menambahkan huruf ha (حَـ) di depan verba tersebut. Contoh:يِدْرِسْ (Dia belajar) menjadi حَيِدْرِسْ (Dia akan belajar). 5. Pembentukan negatif dalam bahasa Arab amiyah Mesir adalah dengan cara menambah ما di depan kata tersebut dan menambah huruf ـشْ di belakangnya. Atau ada juga yang menggunakan cara menambahkan ـمِشْ di depan kata tersebut. Contoh: يِحِبّْ (dia senang) menjadi مَايْحِبِّشْ (dia tidak senang) [Present tense] حَبّْ (dia senang) menjadi مَاحَبِّشْ (dia tidak senang) [Past tense] بِيْحِبّْ (dia sedang senang) menjadi مَابِيْحِبِّشْ (dia sedang tidak senang) [Continuous Tense] حَيْحِبّْ (dia akan senang) menjadi مِشْ حَيْحِبْ (dia akan tidak senang) [Future Tense] حَابِبْ (yang senang) menjadi مِشْ حَابِبْ (yang tidak senang) [Participle] 4. Perubahan Kata Perintah a. Bahasa Arab Fusha SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI أنْتَ kamu (m.) ا...ـْ اِفْتَحْ (Kamu (m.)) bukalah ! أَنْتُمَا kalian berdua (m.) ا...ـَـا اِفْتَحَا (Kalian berdua (m.)) bukalah! أَنْتُمْ kalian (m.) ا...ُـوْا اِفْتَحُوْا (Kalian (m.)) bukalah! أَنْتِ kamu (f.) اِ...ِـىْ اِفْتَحِىْ (Kamu (f.)) bukalah ! أَنْتُمَا kalian berdua (f.) ا...ـَـا اِفْتَحَا (Kalian berdua (f.)) bukalah! أَنْتُنَّ kalian (f.) ا...ْـنَ اِفْتَحْنَ (Kalian (f.)) bukalah! b. Bahasa Arab Amiyah Mesir SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI إِنْتَ kamu(m.) اِ...ـْ اِفْتَحْ (Kamu (m.)) bukalah ! إِنْتِى kamu (f.) اِ...ِـىْ اِفْتَحِى (Kamu (f.)) bukalah! إِنْتُو kalian (m./f.) اِ...ُـوْا اِفْتَحُوْا (Kalian (m./f.)) bukalah! 5. Perubahan Kata Larangan a. Bahasa Arab Fusha SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI أنْتَ kamu (m.) لاَتَـ..ـْ لاَ تَفْتَحْ Jangan (Kamu (m.)) buka! أَنْتُمَا kalian berdua (m.) لاَتَـ..ـَا لاَ تَفْتَحَا Jangan (Kalian berdua (m.)) buka! أَنْتُمْ kalian (m.) لاَتَـ..ُـوْا لاَ تَفْتَحُوا Jangan (Kalian (m.)) buka! أَنْتِ kamu (f.) لاَتَـ..ِـىْ لاَتَفْتَحِى Jangan (Kamu (f.)) buka ! أَنْتُمَا kalian berdua (f.) لاَتَـ..ـَا لاَ تَفْتَحَا Jangan (Kalian berdua (f.)) buka! أَنْتُنَّ kalian (f.) ا...ْـنَ لاَ تَفْتَحْنَ Jangan (Kalian (f.)) buka! b. Bahasa Arab Amiyah Mesir SUBJEK PREFIKS CONTOH ARTI إِنْتَ kamu(m.) مَاتِـ...ْـشْ مَاتِفْتَحْشْ Jangan kamu (m.) buka ! إِنْتِى kamu (f.) مَاتِـ...ِـيْشْ مَاتِفْتَحِيْشْ Jangan kamu (f.) buka ! إِنْتُو kalian (m./f.) مَا تِـ...ُـوْشْ مَاتِفْتَحُوْشْ Jangan (Kalian) buka! BAHAN BACAAN Abdul Chaer. 2003. Linguistik Umum. PT Rineka Cipta: Jakarta. Achmad Atho’illah, Kamus Bahasa Arab Amiyah Mesir (Amiyah Mesir-Fusha-Indonesia), Unit Penerbitan Sastra Asia Barat UGM bekerja sama dengan al-Mu’allaqat Centre Yogyakarta, 2004. Emil Badi' Ya'qub. t.th. Fiqh al Lugah al 'Arabiyyah wa Khasaishuha. Dar al Tsaqafah al Islamiyyah: Beirut. Hindun Ihsan. “Lamhatun ‘an al-Lahjah al-‘Arabiyyah al-‘Amiyyah” dalam Buletin “SAHARA” Edisi 02/Bulan Februari 2004. IMABA FIB UGM Yogyakarta. Naahid ‘Auwni. t.th. Anistuuna. Darun Gharibun li al Tiba’ah: Cairo. Sami A. Hanna. 1972. BEGINNING ARABIC A Linguistic Approach: From Cultivated Cairene to Formal Arabic. cet. II. E. J. Brill: Leiden. Hindun Ihsan, Lamhatu ‘an al-Lahjah al-‘Arabiyyah al-‘Amiyyah dalam Bulletin “Sahara” Edisi 02/Februari 2004, Yogyakarta: IMABA FIB UGM. Hal. 16. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003, hlm. 55. Sami A. Hanna, BEGINNING ARABIC A Linguistic Approach: From Cultivated Cairene to Formal Arabic, Leiden: E. J. Brill, cet. II, 1972, hal. 5-6. Sami A. Hanna, BEGINNING ARABIC A Linguistic Approach: From Cultivated Cairene to Formal Arabic, Leiden: E. J. Brill, cet. II, 1972. hlm. 6-7. Diantara kata-kata bahasa Arab amiyah Mesir yang diawali dengan huruf qaf (ق) tetap dibaca seperti dalam bahasa Arab fusha yaitu kata القَاهِرَةْ, قَامُوْسْ, قُرْآنْ, تَقْرِيْرْ, قَرْضْ, قَانُوْنْ, قَرَّرْ, dan قِسْمْ. Huruf tsā’ dalam bahasa Arab fusha kebanyakan berubah menjadi huruf tā’ ketika digunakan dalam bahasa Arab amiyah Mesir. Huruf ‘ain dalam bahasa Arab amiyah Mesir terkadang diucapkan /‘a/ sebagaimana dalam bahasa fusha, dan terkadang juga diucapkan/dibaca /a/ (huruf hamzah). Huruf jīm (j) dalam bahasa Arab amiyah Mesir berbunyi menjadi /gīm/ (g). Huruf qāf (q) dalam bahasa Arab amiyah Mesir kebanyakan berubah bunyi menjadi /a/ (huruf hamzah) dalam pengucapan. Di ambil dari http://kampusislam.com/content/view/83/113/

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ternyata dirimu juga merusak islam via video itu... he...he... ayo hapus2... wakakakak

*kaburrrr*

Anonim mengatakan...

gag dibuat readmore aja kak?
biar lebih ringkes.. hehehe.

Pilih Bahasa

SELAMAT BERGABUNG


pengen dapet duit 10.000 sampai 100.000/ hari?100% gratis !!! klik di sini untuk bergabung !!! MUH.SUPRIYADIE





Image Hosted by ImageShack.us

KATA MUTIARA

KLIK AJA

TINGGALKAN JEJAK MOE

mau dapat barang elektronik gratis 100 % tanpa bayar sepeserpun...???Klik disini